Keseimbangan Batin: Fenomena Mencari Kebahagiaan Sejati

Ritz Carlton Pacific Place Jakarta

Dua hari yang lalu, ayah mendapatkan telepon dari istri koleganya, yang kupanggil tante. Tante meminta kami berdua untuk bertemu dengannya di sebuah hotel elit di bilangan kota Jakarta. Selama ini, tante sangat baik sekali pada ayah, itupun karena ketulusan dan “kepolosan” ayah. Tante tinggal di Surabaya, di jalan utama kota Pahlawan tersebut. Suami dari tante yang kupanggil Paman ini, sudah mengenal ayah sejak kecil, dan mereka berteman baik hingga saat ini.

Awalnya, sebagaimana yang kudengar dari ayah, Paman dan Tante memulai hidup dengan penuh kesulitan hingga harus tinggal di daerah pedalaman karena tingginya biaya hidup di perkotaan. Kejadian itu sudah terjadi 20an tahun yang lalu. Berkat usaha keras dari Paman, ia berhasil membangun bisnis dibidang furniture dan mebel, hingga mereka berhasil. Namun, keberhasilan ini pun tidak berlangsung lama, karena harta kekayaan Paman terkuras oleh rekan kerjanya yang tidak bertanggung jawab. Rekan kerja Paman ini termasuk pejabat tinggi di masa Orde Baru, namun, namanya kini sudah tidak lagi bergaung di panggung bisnis dan politik. Rekan kerja yang sempat menipu Paman ini pun, sempat “menginap” di hotel prodeo, namun dengan segala fasilitas yang berbeda dengan para “turis” lainnya yang “menginap” di hotel tersebut.

Pada masanya, ketika bahan mentah kayu mudah diraih dari Kalimantan maupun Jawa, serta didukung oleh tenaga ahli dari Jepara, usaha Paman sangat maju, namun regulasi perkayuan dan lainnya, serta rasa “kapok” karena tertipu oleh rekan kerja, membuat Paman harus berpikir keras dan “banting setir” ke usaha lain, bisnis perkebunan tembakau. Usaha ini dirintisnya dari awal, mungkin dengan modal nekad, pengalaman dan kebijaksanaan yang telah ia tempa selama puluhan tahun, akhirnya usaha ini berhasil. Belakangan baru saya ketahui, putra Paman (kupanggil Kakak) adalah seorang grader tembakau yang sangat ahli. Bahkan kini, mereka menjadi salah satu pemasok bagi perusahaan rokok terbesar di negeri ini, salah satunya, grup yang memiliki bank swasta terbesar dan paling inovatif di negeri ini.

Sulit diungkapkan apa saja yang telah Tante-ku ini raih dari bisnis ini, ribuan orang yang pada awalnya tidak memiliki mata pencaharian pasti, kini merasa bagian dari usaha yang terus berkembang, mengandalkan pertumbuhan organik di pasar domestik.

Sekitar dua tahun lalu, saya berkunjung ke kediaman Tante di Surabaya, ia mengajak saya dan ayah berkeliling di bilangan jalan utama di kota tersebut, sambil mencari rumah “tambahan” yang cocok untuk investasi. Terus terang, mungkin sudah lusinan rumah di bilangan jalan utama Surabaya adalah milik mereka. Bahkan mereka baru saja investasi beberapa apartemen di Shanghai, China. Mereka juga memiliki properti di beberapa negara lainnya. Sungguh pencapaian yang tidak terbayangkan bila waktu ini ditarik ke belakang, dua puluh tahun yang lalu.

Kembali lagi ke cerita dua hari yang lalu, maksud kedatangan Tante, ke Jakarta tidak lain hanya untuk berkunjung ke Arena Pekan Raya Jakarta, untuk melihat adanya kemungkinan perluasan usaha. Ia tidak lama di perhelatan tersebut, sorenya, ia minta bertemu dengan ayah dan saya. Penampilannya masih sama dengan beberapa tahun lalu kami bertemu, ia masih anggun. Ia banyak berbincang dengan ayah dan saya, banyak bercerita tentang pabrik barunya yang memiliki kapasitas mesin besar yang didatangkan langsung dari Jerman. Begitupun ayah, yang banyak sekali menitip pesan ke Paman (via Tante), agar ia mengurangi kesibukan bisnisnya, dan lebih menikmati hidup dengan menjaga keseimbangan spiritualitas dan bersatu dengan harmoni alam, agar lebih bisa memaknai hidup yang begitu singkat ini.

Kakak ipar-ku (istri dari putra Paman), adalah orang yang lemah lembut, ia sangat tahu sekali perasaan orang, begitu sensitifnya sehingga seakan bisa merasakan apa yang saya rasakan tanpa perlu mengutarakan dengan kata-kata. Ia banyak bercerita tentang putranya yang baru berusia 18 bulan. Ia sangat ramah, sehingga kendati saya baru mengenalnya pada saat ini, suasana jadi “cair” dan penuh keakraban.

Tidak terasa, perbincangan yang diiringi dengan sepoci Teh Cina telah “memakan” waktu 3 jam. Tante pun mengatakan bahwa Kakak sedang menuju hotel langsung dari Bandara Soekarno-Hatta. Tante meminta agar kami tidak segera pulang, karena ia ingin kami makan malam bersama di Ritz Carlton.

Akhirnya, Kakak tiba, kami pun siap berangkat. Tante berangkat bersama dengan familinya dengan Honda CRV. Dikarenakan cukup banyak orang yang akan berangkat, mobil tersebut tidak “sanggup” menampung kami semua. Awalnya Kakak hendak menggunakan BMW seri 7-nya yang diparkirnya di Grogol, namun, karena kemacetan Jakarta yang luar biasa, terpaksa kami (saya, ayah dan Kakak) memanfaatkan sedan hitam Hyundai Sonata yang tersedia di sana.

Sungguh tidak terbayangkan kemacetan di Jakarta. Hingga sering sekali tersebit dalam pikiran saya, bahwasanya memiliki mobil semewah apapun, rasanya tidak terlalu berarti apabila dibandingkan dengan “tekanan” yang harus kita terima di lalu lintas selama berkendaraan. Entah sampai kapan, Jakarta bisa menyandang status “bebas macet”…

Sesampai di restoran yang berdasarkan informasi dari Kakak, merupakan milik dari famili bos yang “akan” mendirikan The Signature Tower, kami disuguhkan masakan ciri khas Thailand yang terkenal dengan rasa asam dan pedas yang bercampur-baur dalam satu rasa. Begitu banyak sajian masakan hingga saya hanya sekedar mencicipi saja. Ya, bila ditanyakan rasanya… tidak jauh berbeda dengan Jittlada Resto di Grand Indonesia, namun saya tetap lebih “menjagokan” Thamnak Thai, rasanya lebih mantap dan unik.

Pada kesempatan itu, Tante ingin memperkenalkan putrinya (sebenarnya sudah kenal, tapi tidak benar-benar intens), ya.. dapat dikatakan ajang tatap muka. Karena putrinya membawa beberapa teman wanita, wah.. ternyata mau jodohkan saya dengan temannya (saya anggap hal itu sebagai “canda tawa” untuk meramaikan suasana, agar tidak terkesan terlalu kaku). Terdengar sekali kerasnya tawa cekikikan dari para “bidadari” itu. Hahaha… Ternyata umur putri tante dan saya, sama! Shio juga sama!… so what? Well, katanya memiliki sifat yang tidak jauh berbeda juga… ah masa sih???

Well, singkat kata, waktu menunjukkan pukul 21:30, sudah cukup malam, saya dan ayah perlu pamit dan “undur diri”. Dalam perjalanan pulang, saya terus merenungkan hal-hal yang saya alami sejak perjumpaan awal dengan Tante hingga acara makan malam berakhir. Hidup itu, sungguh tak pelaknya bagaikan panggung sandiwara. Sekejap mata saya merasakan “glamour”-nya hidup, sekejap mata, saya merasakan kontrasnya hidup karena kultur yang dibawa oleh keluarga saya, yakni kesederhanaan.

Saya perlu realistis dengan hidup ini, hidup yang penuh dengan keglamouran bukanlah dunia saya, saya tidak merasakan adanya “kebahagiaan sejati”, ya.. memang saya merasa “senang”, tapi entah kenapa, kerap kali ketika kesempatan itu datang, saya selalu mrasakan bahwa “ini pun akan berlalu”… ilusi yang mencengkram pikiran, ya jiwa saya ini merintih karena merasa berada di dunia lain.

Inilah hidup saya, hidup yang saya lakoni selama puluhan tahun, suatu kesederhanaan dan semangat toleransi yang nyata. “Self-control” tanpa membuat diri saya merasa terpasung oleh pemikiran khalayak ramai. “Wong ini saya…, saya merasa enjoy kok… napa orang lain yang repot… hehehe”. Mungkin itu yang saya pikirkan. Mungkin dengan “pelatihan” ini, saya bisa membuat diri saya lebih terkendali, apabila suatu saat nanti saya perlu menjadi seorang “pemimpin” yang dikelilingi dengan harta bergelimpangan, yang notabene bukan milik saya, sehingga alih-alih korupsi untuk kesenangan diri sendiri, kita lebih bisa membaktikan diri untuk orang lain.

Saya sangat menghargai Paman, Tante dan Kakak, namun dilain pihak, saya ingin diri saya juga menyadari realitas ke-fana-an hidup ini secara seimbang, saya ingin hidup dalam keharmonisan, dan untuk meraihnya, saya perlu belajar hidup “susah” kendati hidup dalam bergelimpangan. Mungkin anda pernah berjumpa dengan saya, dan saya pernah berjumpa dengan anda. Namun, anda tidak akan pernah mengenali saya, karena mata memiliki keterbatasan dalam hal penilaian, karena organ pencitraan ini, sesungguhnya ada dalam ke-bias-an.

Akhir kata, hidup adalah suatu fenomena, pembelajaran bagi kita semua. Sebagai orang kaya, tidak ada salahnya bila kita belajar hidup “prihatin”, sebagai orang “susah”, kita pun tidak ada salahnya belajar hidup “kaya”, kaya secara moril dan spiritual, kaya dengan berlapang dada. Hanya dengan demikian, makna dari “kebahagiaan sejati” dapatlah kita temukan.


  1. vivi

    hai..aku Vivi.aku 37 tahun,janda beranak 1.aku pengusaha.yaa…walaupun belum jadi
    milyuner,banyak orang bilang aku janda kaya.aku mencari seorang pria baik2 untuk dijadikan
    suami.apapun keadaannya aku terima dengan ikhlas,asalkan dia setia,mencintai aku dan
    menyayangi anaku.bila ada pria yang serius,hubungi aku di nomor hape 089606567271.dan
    tanda dari orang yang serius adalah langsung menelepon,tidak smsan kaya anak muda.




Tinggalkan komentar