Tanpa Mereka, Saya Tidak Akan Pernah Ada


Hari ini, adalah hari yang cukup berkesan dalam hidup saya. Saya bisa menghabiskan waktu seharian bersama dengan Mama dan adik, berbelanja keperluan untuk outbond (kantor) +/- 2 minggu dari sekarang.

Sejujurnya jarang sekali saya keluar dengan Mama, mostly, saya keluar bersama dengan Papa. Well, karena Mama jarang ada waktu untuk menyempatkan diri jalan bersama dengan saya. Sedangkan alasan utama saya sering bepergian dengan Papa, dikarenakan dalam rangka membantu bisnisnya, terkadang saya berperan sebagai negosiator tak langsung baginya. Pun, terkadang diajak olehnya sekedar untuk mengenalkan saya pada rekan-rekan bisnisnya.

Hal yang sebenarnya agak membosankan bila jalan dengan Papa, adalah topik pembicaraan yang slalu kami bicarakan adalah mengenai permasalahan politik (mencakup geopolitik), bisnis (peluang dan risiko), ekonomi, mancanegara, dll. Intinya, semua hal yang mencakup pembicaraan yang super serius, plus digabung dengan penalaran dari pemikiran kami masing-masing, plus debat yang kadang tidak berujung, tanpa bermaksud mencari siapa yang benar atau salah. Well, semua itu hanya untuk memperoleh pengukuhan, bahwa meski kami rakyat jelata, bukan berarti kami buta akan kondisi dan situasi dalam dan luar negeri.

Lain halnya bila saya jalan dengan Mama, pembicaraan kami selalu mengarah pada permasalahan hakiki umat manusia, yakni berkutat pada masalah doktrin, ajaran, dan aliran agama (religi), tafsirannya, kaitan ilmu pengetahuan dan agama, filsafat humanistik, filsafat religi, filsafat pendidikan, pandangan hidup umum, sosial dan kemasyarakatan, perilaku kemasyarakatan (non-politik), kecenderungan khalayak ramai, sejarah, psikologi, praktik-praktik nyata dari kehidupan beragama, dll. Intinya, segala hal yang menyentuh sisi terdalam dalam kehidupan sosio-humanistik dan filsafat religi (tidak hanya pada satu agama yg kami anut, tapi agama-agama lainnya yang tumbuh di dalam maupun di luar negeri). Uniknya, dalam 1 keluarga, tidak ada yang menganut agama/aliran yang sama (ada yang Konghucu, Taoisme, Budha (Mahayana, Theravada, Vajrayana), Maitreya, TriDharma (Budha, Konghucu dan Taoisme), dan kami tetap saling menghargai keyakinan masing-masing.

Bila Papa lebih mengarah pada pencapaian prestasi keduniawian, maka Mama lebih mengarahkan saya untuk mencapai prestasi kerohanian. Bagus juga kalo dipikir-pikir, saya dididik dari kecil dari 2 org dengan karakter yang super berbeda, dengan pandangan pemikiran 180 derajat (berbeda), yang pada akhirnya menghasilkan balancing dalam ritme pemikiran saya, tidak terlalu duniawi, dan tidak terlalu religi. Lain halnya dengan almarhum Kakek (dari Ayah), beliau selalu menekankan prinsip jalan tengah, seumpama tali kecapi, bila senarnya terlalu ditegangkan, ataupun terlalu diregangkan, suaranya tidak akan merdu (sempurna), oleh karnanya, jangan terlalu tegang dan jangan terlalu regang. Intinya, dalam hidup jangan terlalu ekstrim dalam pemikiran, hasilnya tidak akan memuaskan. Tampaknya Kakek saya seorang penganut Buddhist. Di lain waktu, Kakek suka bercerita tentang ajaran Taoisme (keselarasan dengan alam), di lain waktu, Ia berbicara tentang ajaran Konghucu (keselarasan hubungan antara manusia dengan pemerintah, keluarganya, dan masyarakat).

Itulah sebabnya, dalam aktivitas pendidikan formal, saya tidak pernah mengedepankan bahwa satu bidang materi lebih baik ditonjolkan ketimbang lainnya, semuanya merupakan pendidikan yang penting (meski efeknya tidak langsung terasa dalam waktu dekat), yang membentuk pola pemikiran kita dalam hidup bermasyarakat, dalam kemajemukan, toleransi universal, dan pembelajaran tanpa akhir. Hanya saja, karena kecenderungan Generalis (anti-Spesialistik), telah membuat prestasi pendidikan formil saya tidak bisa dibandingkan dengan lainnya yg cenderung memantapkan posisi di satu bidang, misalnya: eksakta (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dll).

Saya secara pribadi merasakan, pendidikan zaman sekarang, begitu mengedepankan ilmu pengetahuan (eksakta) dan teknologi, hingga agak ”meminggirkan” budi pekerti dan ajaran bakti pada khalayak yang lebih senior (orang tua, guru, yang lebih tua dan patut dihormati. Padahal, generasi muda takkan pernah ada bila tidak ada generasi sebelumnya. Itulah mengapa pendidikan barat selalu menyatakan ”ada GAP diantara generasi muda dan tua”. Ya.. GAP itu bisa terjadi karena GAP itu tidak diisi dengan ajaran bakti dan hormat pada yang lebih tua, serta budi pekerti dengan proporsi yang berimbang dengan penetrasi iptek itu sendiri ke pikiran kaum generasi muda. Saya masuk kategori generasi muda, tapi saya cukup bersyukur, selain mengecap pendidikan formal, saya juga mendapat pendidikan kehidupan (yang jauh lebih bermakna, tapi tanpa sertifikat dan nilai rapor) dalam keluarga via Mama dan Papa.

Back again to the main story… Seharian berbelanja di mall, bersama dengan Mama, rasanya menyenangkan, memilih perlengkapan pendakian gunung di toko Eiger, yakni: tas ransel besar, pengaman, topi, sarung tangan, belati, dll. Berkunjung ke toko BodyPack, beli tas ransel buat kantor, selanjutnya mluncur ke department store, beli sandal gunung, sepatu sport, baju t-shirt lengan panjang, t-shirt lengan pendek, celana pendek, celana panjang, dll.

Gak disangka, keliling di mall, di toko sepatu, tas, department store, bisa habisin 6 jam. Iseng-iseng ajak Mama dan Adik, makan di resto Chinese Food, ternyata salah perkiraan, karena jarang makan di resto ini, pesen menu kebanyakan, habis deh perut ini jadi melar, tapi apa boleh buat, sudah pesen, harus dihabiskan semua. Pesen Mama dan Papa, dari kecil sampe sekarang, nasi + lauk, yang sudah kita pesen (ambil), harus (wajib) dihabiskan semua, tidak boleh menyisakan sebutir pun. Bukan karena kami hidup susah dan miskin merana… bukan juga karena kami pelit… tapi itulah bentuk penghargaan kami terhadap hadiah dari-Nya, yang diberikan pada kami untuk menyambung kehidupan. Tanpa makanan, saya rasa, betapa kuatpun diri kita, kita akan lemah bila tanpa makanan. Menghargai makanan, dengan tidak menyisakannya begitu saja untuk berakhir dalam tong sampah, juga merupakan ungkapan syukur kita pada-Nya, kita sadar bahwa tanpa persetujuan dari-Nya, uang hasil jerih payah kita (yg notabene juga dari-Nya) untuk beli makanan, makanan tersebut tersaji di depan mata kita, belum tentu kita bisa santap dan tidak berimplikasi menghadirkan penyakit di tubuh kita.

Papa dan Mama selalu berpesan, makanan mempengaruhi pola pikir manusia. Loh kok bisa? Begini penjelasannya… makanan, mengandung gizi penting untuk tubuh, tubuh ini akan lemah tanpa asupan gizi, berkat dari gizi makanan tsb, tubuh ini jadi segar, tubuh segar, pikiran kita ”lega” dan ”bahagia” juga ”nyaman”. Pikiran ”nyaman”, emosi terkendali (maklum, kebanyakan org sulit tahan emosi, bila kurang makan.. minimal terasa pusing), kita bisa berpikir dengan ”kepala jernih”. Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat. Tapi dengan catatan, jangan makan berlebihan, makanlah di saat lapar, dan makanlah sebelum kenyang (dgn catatan, tanpa sisa). ”Makan di saat yg tidak tepat dan berlebihan, akan menimbulkan penyakit…”, itu pesan orang tua…

Malamnya, iseng-iseng nge-gym setengah jam. Terbesit pemikiran, kalau dipikir-pikir, kita (saya, anda, dll) termasuk orang-orang cukup beruntung… mengapa? Ternyata ”oksigen” yang saya hirup ini, dapat saya peroleh gratis dimana saja. Sering saya berpikir, orang-orang yang ada di ruang ICU, membutuhkan alat bantu pernafasan, itupun di-charge dengan biaya yg tidak murah. Pun, hari-hari terakhir menjelang ”kepergian” Kakek saya, kami harus membeli tabung-tabung oksigen untuk menyambung hidupnya untuk sekian waktu (sementara), non-permanen… saat isi tabung habis, kami harus membayar lagi, dst.

Banyak orang-orang kaya di luar sana, yang harus mengeluarkan biaya mahal, hanya untuk memperoleh oksigen untuk menyambung nyawa. Banyak pula orang miskin di luar sana, meski hidup kekurangan dalam materi, tapi berkelimpahan dalam hal mengakses ”oksigen”. Orang-orang kaya belum tentu bisa menikmati kekayaannya yang berkelimpahan itu, pun orang-orang miskin belum tentu terlihat ”begitu tidak beruntung” sebagaimana apa yang kita lihat dan pikirkan. Ini adalah karunia dari-Nya yang perlu kita syukuri setiap saat, ”Oksigen gratis dimana-mana… Free of Charge!!”. Well, the point is: buat yang sedang berada di ”ATAS” maupun “BAWAH”, jgn terlalu dibutakan oleh “Materi”, hidup tak hanya sekedar “lebih kaya kamu atau aku… kamu lebih susah dari aku, aku lebih baik dari kamu, pun… aku tidak seberuntung kamu, kamu lebih beruntung dari aku…”. Tragis banget pemikiran seperti itu, hey.. kita beruntung, bisa akses oksigen gratis!!

Okay, back again to the story, saya sampe lupa udah berapa kali gesek kartu kredit, astaga!!! Melebihi batas yang sudah saya budget-kan. Tapi, its okay-lah.. well, akhirnya si pandir akan mengucapkan “final words”-nya di postingan ini… “uang bisa dicari, kebahagiaan sulit dicari meski kita hidup dalam berkelimpahan sekalipun”. Thanks Mom for this lovely day 🙂




    Tinggalkan komentar